Lebaran
sebagai momen penting untuk bertemu dan berkumpul dengan keluarga sudah
berakhir, para perantau yang beberapa waktu sebelumnya berbondong-bondong
pulang kampung sekarang sudah mulai kembali ke kota menuju tempat mencari
nafkahnya masing-masing. Kampung dan desa-desa mulai ditinggalkan, kehidupan
mulai berjalan sebagaimana biasa, ibu dan bapak kembali menyapa sawah,
mesin-mesin jahit mulai dioperasikan, anak-anak sekolah sibuk mempersiapkan
semester baru, jumlah warga yang memilih kehidupannya didesa kembali pada
hitungan seperti sediakala, kecuali ditambah kelahiran dan dikurangi kematian.
Sebagai
perantau hal terberat yang harus dijalani dari tradisi mudik lebaran adalah
bukan bagaimana berjam-jam diperjalanan atau biaya mudik lebaran dan segala
aktivitasnya yang lumayan membuat kantong meringis tetapi bagaimana kembali
meninggalkan kampung halaman dan kembali tidak menatap wajah kedua orang tua
berhari-hari begitu membuat haru, lebih berat dari segala berat yang
dikalimatkan apapun.
Hampir
setiap tahun saya mempunyai kesempatan mudik dua kali atau tiga jika
angka-angka dikalender bersahabat, ketika saya memperoleh kalender baru diawal
tahun dari kantor maka hal pertama yang akan saya lihat adalah disposisi angka
berwarna merah yang berdempet dengan hari-hari yang menunjukan akhir pekan. Maka
kesempatan mudik atau bisa juga disebut berlibur adalah kesempatan yang langka
dan patut disyukuri.
Ketika
mudik ada baiknya menyempatkan berkunjung ketempat-tempat dikampung, mengunjungi pasar
atau sekedar singgah dirumah teman. Maka tidak apa-apa jika mendadak banyak ingatan muncul dikepala. Wah, dulu aku sering makan disana, wah dulu
sering melewati jalan ini, wah dan wah wah lainnya beradu menjadi kenangan
yang mungkin tak akan hilang. Kampung halaman, seberapapun sering ditinggalkan,
kenangan selalu tahu tempatnya pulang.
Saat
orang ramai mudik, masyarakat bisa dengan mudah menilai kondisi kehidupan
seseorang dengan hanya melihat apa yang dibawanya pulang. Ketika seseorang
mudik menggunakan kendaraan mobil maka pemudik akan dianggap sukses dan
berbahagia, tidak begitu dengan pemudik yang datang hanya mengenakan motor yang
dianggap sudah biasa, Jika seseorang mudik dengan membawa pacarnya maka dengan
mudah pemudik dinilai sudah menemukan jodohnya dan berbeda ketika pemudik hanya
datang sendiri maka dengan jurus “pukulan kunyuk melempar buah” seperti dalam
Wiro Sableng, keluarga dan warga sekitar menyerang dengan pertanyaan “kamu
kapan ?”, saya tidak bisa membayangkan apa yang digunjingkan orang tentang bagaimana
nasib pemudik yang pulang tidak menggunakan kendaraan pribadi apapun dan tidak
membawa seorang pacar.
Padahal
lebih dari menyoal hal-hal yang dibawa seorang perantau pulang, dipunggungnya
tertumpuk rindu yang tertahan ingin dibawa pulang. Perantau, Ia pulang membawa
rindu untuk disampaikan.
Social Footer